Minggu, 30 Juni 2013

Motivasi dan Inpirasi // MENYIBAK KEARIFAN EXTREMISTAN



MENYIBAK KEARIFAN EXTREMISTAN
Dr. Zaprulkhan M.S.I. Inspiring Learner

            Istilah mediocristan dan extremistan merupakan ciptaan kreatif-provokatif Nassim Nicholas Taleb dalam karya monumental terbarunya, The Black Swan, yang segera menduduki buku BestSeller internasional. Secara umum, dengan istilah mediocristan, Taleb ingin melukiskan semua peristiwa yang biasa-biasa saja dalam setiap aspek kehidupan. Sedangkan extremistan adalah gambaran tentang segala peristiwa yang luar biasa dan spektakuler dalam setiap dimensi kehidupan. Namun dalam tulisan singkat ini, saya hanya ingin melukiskannya dari satu aspek kehidupan manusia saja.
Jika mediocristan merupakan sebuah keadaan yang tenang, tenteram, dan tanpa gejolak, maka extremistan adalah gambaran situasi yang penuh teka-teki, tantangan, dan kejutan demi kejutan. Dengan kata lain, melalui istilah mediocristan, Taleb ingin menggambarkan realitas kehidupan orang kebanyakan yang wajah kehidupannya menjadi terperangkap dalam hal-hal yang bersifat kolektif, rutin, nyaman, dan dapat diramalkan secara pasti. Mereka adalah orang-orang yang mengikuti aturan baku, merasa nyaman dengan kedudukan yang telah diraih, dan tidak pernah mampu melakukan sesuatu yang bersifat individual yang berada diluar lingkaran strukturalnya.
            Para karyawan sebuah bank, akuntan, dosen, atau pegawai sebuah perusahaan, misalnya, cuma menjalankan tugas rutin, mengevaluasi keuangan, melaksanakan instruksi atasan, atau mengarahkan kemajuan institusi berdasarkan standard-standard peraturan yang sudah disepakati bersama. Seorang kepala sekolah atau dekan perguruan tinggi, pembantu ketua atau ketua sebuah universitas, hanya disibukkan dengan rapat-rapat struktural, kegiatan-kegiatan teknis, dan segala macam aturan main yang sesuai dengan status mereka. Orang-orang ini merasa puas bersama jabatan mereka, namun tidak mampu menerobos keluar dari kerangkeng jabatan tersebut untuk melakukan sesuatu yang justru akan membawa efek sosial, fenomenal, dan bermakna.
            Sebesar dan setinggi apapun kedudukan yang mereka sandang, kebesaran dan ketinggian mereka hanya bergantung pada status struktural tersebut. Ketika keagungan singgasana tahta statusnya terlepas dari genggaman tangannya, tidak ada sesuatu pun yang besar dan bermakna yang mampu mereka hasilkan. Secara individual, tidak ada prestasi besar yang cemerlang dan menakjubkan yang mampu mereka torehkan. Secara metaforis, mereka menjadi macan ompong yang tidak lagi menakuti orang lain, justru sebaliknya mengundang tertawaan orang-orang di sekelilingnya. Itulah wilayah mediocristan; sebuah kenyamanan semu. Dalam bahasa Taleb, itulah sampel the white swan yang mudah ditemukan.  
            Jika demikian realitas faktual orang-orang dalam wilayah mediocristan, maka orang-orang yang menjalani kehidupan dalam provinsi extremistan justru sangat berbeda. Extremistan adalah orang-orang yang sangat sedikit di antara orang-orang kebanyakan, manusia langka di tengah-tengah kerumunan manusia massa. Orang-orang ini berani menerobos keluar dari rutinitas kegiatan sehari-hari dan keluar dari aturan-aturan baku yang justru memasung kreativitas mereka. Mereka mempunyai misi personal yang amat bergairah untuk diejawantahkan sekalipun berbeda dengan yang dimiliki oleh kebanyakan orang.
            Mereka mempunyai mimpi-mimpi besar yang begitu membara dan mengikuti antusiasme mimpi tersebut sekalipun awalnya sangat tidak populer dengan pakem-pakem yang telah mapan secara sosial. Untuk memperjelas gagasan ini, barangkali sebuah kisah diperlukan sebagai contoh konkretnya. Lima tahun lalu, Yevgenia Krasnova hanya seorang novelis turunan Prancis-Rusia tak ternama dengan karya yang belum pernah diterbitkan karena dianggap tidak lazim. Ia seorang penggumul ilmu saraf yang senang dengan filsafat dan menuangkan hasil-hasil penelitian dan gagasannya dalam bentuk karya sastra.
            Ia membungkus teori-teorinya dalam bentuk cerita, kemudian memadukan semuanya dengan komentar-komentar bergaya otobiografi yang tidak lazim menurut standard umum. Ketika ia menawarkan naskahnya kepada penerbit, tak satupun penerbit yang mau menerima, bahkan para penerbit dibingungkan oleh naskahnya. Mereka justru melecehkannya bahwa jika karya itu dicetak, hanya akan laku 10 eksemplar, termasuk yang dibeli oleh keluarga Yevgenia sendiri. Yevgenia akhirnya memasukkan seluruh naskah pertamanya, A Story of Recursion, ke Web. Di sana ia menemukan penerbit kecil tak terkenal yang berbicara dalam bahasa Rusia primitif.
            Ia mau menerbitkan naskah Yevgenia dan setuju untuk tidak menyunting naskah tersebut, asalkan dengan bayaran royalti yang kecil sekali. Yevgenia menerima semua persyaratan tersebut. Lima tahun kemudian, karyanya ternyata menjadi salah satu buku paling spektakuler dalam sejarah sastra, dengan penjualan mencapai jutaan eksemplar dan memperoleh pujian dari para pakar ternama. Bahkan penerbit kecil yang sama, kini menjadi sebuah perusahaan besar dan bukunya telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa dunia.
            Ketika membaca kisah ini, tiba-tiba saya teringat J.K. Rowling, sang pengarang buku seri Harry Porter yang mampu menyihir ratusan juta pembaca dengan gaya tutur yang keluar dari mainstream. Saya teringat Andrea Hirata dengan tetralogi Laskar Pelangi-nya yang menghipnotis jutaan masyarakat Indonesia dengan menarasikan otobiografi melalui gaya fiksi yang unik. Dan saya teringat semua orang-orang besar, seperti Mahatma Gandhi, Bunda Teresa, Nelson Mandela, Dalai Lama, dan Abraham Lincoln yang berani melakukan hal-hal yang selaras dengan misi autentik mereka sekalipun bertentangan dengan pandangan kebanyakan orang, status struktural yang mereka sandang, tidak populer, dan mendobrak rutinitas aturan baku kebanyakan manusia. Mereka itulah orang-orang yang berani hidup dalam wilayah extremistan sehingga mampu menciptakan The Black Swan, sebuah keagungan yang akan senantiasa dikenang sepanjang masa oleh umat manusia. 
Akhirnya advis prinsipilnya: dobraklah rutinitas kebiasaan Anda yang semu, dingin, dan menipu meskipun Anda berbusana status yang tinggi secara struktural. Bebaskanlah menampilkan mimpi-mimpi besar Anda tanpa terpenjara dengan kedudukan Anda yang bersifat sementara; Kebebasan untuk berani menunjukkan orsinalitas dan ke-geniun-an diri Anda, artikulasi Anda, ekspresi Anda, talenta unik Anda, serta semua karya Anda secara personal tanpa merasa damai di bawah bayang-bayang kebesaran status Anda. Karena jika Anda mengikuti panggilan jiwa Anda seutuhnya, percayalah satu saat ia akan membawa Anda ke tengah-tengah gelanggang kehidupan, walaupun sebelumnya Anda berada di sudut-sudut labirin senyap kehidupan. That's the real extremistan, the real black swan.
Keep Spirit....

Sabtu, 22 Juni 2013

Makna Hidup // KEARIFAN PENSIL COELHO

KEARIFAN PENSIL COELHO
Dr. Zaprulkhan M.S.I Inspiring Learner

Alkisah, seorang bocah menyaksikan neneknya sedang menulis sepucuk surat. Seketika si bocah bertanya, “Nenek menulis tentang apa yang telah kita kerjakan? Apakah itu cerita tentang aku?” Sang nenek berhenti menulis dan berkata kepada cucunya: “Nenek memang menulis tentang engkau, tapi yang lebih penting daripada cerita ini adalah pensil yang Nenek gunakan. Nenek harap, ketika dewasa nanti engkau akan seperti pensil ini” Si bocah memandang pensil itu. Tak ada yang istimewa. “Tapi, nek, ini tak beda dengan pensil-pensil lain yang pernah kulihat”
“Itu tergantung bagaimana engkau memandang sesuatu”, sahut sang Nenek. Pensil ini, punya lima keistimewaan yang jika engkau kelola dengan baik, akan menjadikanmu seorang yang senantiasa berdamai dengan dunia. Pertama, engkau berbakat menghasilkan sesuatu yang hebat, tapi jangan pernah lupa bahwa ada tangan yang membimbing langkahmu. Kita sebut itu tangan Tuhan, dan Dia senantiasa membimbing kita sesuai dengan kehendakNya. Ya, setiap kita merupakan masterpiece Tuhan yang telah dititipi kekuatan khas untuk menghasilkan karya kehidupan sesuai dengan kekuatan khas kita masing-masing. Namun ketika kita telah mampu menghasilkan mahakarya sebanyak apapun, kita harus tetap rendah hati untuk melabuhkan semua kehebatan kreativitas karya kita kepada Tuhan sebagai sumber kreativitas kita.
Kedua, sekarang dan nanti, Nenek harus berhenti menulis dan menggunakan sebuah rautan. Itu akan membuat pensil ini sedikit menderita, tapi setelah itu ia akan lebih tajam. Engkau juga begitu, harus belajar menahan rasa sakit dan derita, sebab semua itu akan membuat engkau menjadi pribadi yang lebih baik. Wisdom comes from suffering, bahwa kebijaksanaan hidup seringkali menyapa kita melalui penderitaan. Secara metaforik, penderitaan itu laksana badai pawana yang menghancurkan bunga-bunga yang kering dan layu untuk menumbuhkan tunas-tunas baru yang indah menawan dan mempesona. Atau bagaikan ratapan musim gugur yang menakutkan, menggelisahkan, dan mencemaskan, namun di baliknya tersembunyi senyuman musim semi yang amat melegakan, menyenangkan, sekaligus menggairahkan.
Ketiga, pensil ini selalu mengingatkan kita agar menggunakan penyetip untuk menghapus kesalahan. Artinya, mengoreksi segala yang telah kita lakukan bukanlah hal buruk, dan akan membantu menjaga kita tetap pada jalan menuju keadilan. Karena tak seorang pun di antara kita yang steril dari kesalahan dan dosa, maka kita mesti bersedia meminta maaf atas kesalahan-kesalahan kita kepada orang lain dan senantiasa memohon ampun kepada Tuhan. Selain itu, kita juga harus bersedia mengoreksi kelemahan karya kita untuk perbaikan terus menerus secara maksimal.
Keempat, apa yang sesungguhnya berarti dari sebatang pensil bukanlah kayu bagian luarnya, melainkan grafit yang berada di bagian dalam. Maka selalu perhatikan apa yang terjadi di dalam dirimu. Wadak fisikal tubuh kita memang penting, tapi jangan lupa bahwa akal, mental, dan jiwa (spiritual) yang bertahta dalam diri kita jauh lebih penting. Maka sudah selayaknya kita merawat kapasitas akal, mental, dan spiritual kita dengan ilmu pengetahuan, kearifan hidup, dan pengabdian kepada Sang Pencipta.
Terakhir, pensil selalu meninggalkan jejak. Dengan cara yang sama, engkau mesti tahu bahwa apa pun yang engkau lakukan dalam hidup akan meninggalkan jejak, maka sadarilah setiap tindakanmu. Karena apapun yang kita lakukan selalu meninggalkan jejak dan satu saat putaran sang waktu akan menutup layar kehidupan kita, maka kita harus sering-sering menggulirkan sebuah pertanyaan reflektif kepada diri kita masing-masing: Apakah saya tengah merenda lukisan kehidupan yang penuh makna bagi saya sekeluarga dan umat manusia, atau apakah saya sedang melukis wajah kehidupan yang sia-sia bagi saya sekeluarga dan umat manusia?
Kisah manis ini dituturkan oleh Paulo Coelho, seorang penulis novel-novel best seller tentang petualangan manusia dalam menemukan jati diri, makna hidup, dan pencerahan spiritual yang saya perkaya sekaligus pertajam pesan moralnya. Melalui kisah tersebut, Coelho mengajarkan kita bahwa sebatang pensil dapat menjadi perumpamaan dalam mengukir karakter mulia. Ternyata kita sebagai insan yang bernalar ini, bisa belajar kearifan hidup dari sebatang pensil yang bisu bukan?

Minggu, 09 Juni 2013

Spirit dan Motivasi // MISTERI DAN MAKNA KEBERUNTUNGAN



MISTERI DAN MAKNA KEBERUNTUNGAN
Dr. Zaprulkhan, M.S.I Inspiring Learner

Ketika membicarakan keberuntungan, paling tidak secara global ada tiga macam keberuntungan. Pertama, keberuntungan karena nasib. Di sini kita sering kali menemukan orang-orang yang mengalami keberuntungan secara misterius yang membuat nalar kita tumpul. Seorang pengusaha besar Amerika John Wood misalnya, lolos tipis dari maut ketika meninggalkan kantornya di salah satu menara kembar WTC di New York tahun 2001. John Wood meninggalkan kantornya di WTC hanya beberapa detik sebelum bangunan megah itu ditabrak pesawat yang dibajak.
Dan pada tahun 1988, beberapa tahun sebelumnya John Wood telah mengalamai keberuntungan yang menakjubkan juga. Saat itu ia telah dijadwalkan naik pesawat Pan-Am yang meledak di atas Lockerbie, Skotlandia. Tetapi ia justru membatalkan tiketnya pada menit-menit terakhir karena terbujuk untuk menghadiri sebuah acara pesta kontor. Dan yang lebih menakjubkan lagi,  pada awal tahun 1980-an, salah seorang tentara angkatan darat dari satuan kopasus Serang, Indonesia melakukan terjun payung dari ketinggian sekitar 5000 kaki. Ketika ia terjun, ternyata parasut payungnya tidak terbuka sedikitpun, sehingga ia meluncur seperti batu yang dilemparkan dari ketinggian menuju daratan. Namun anehnya, dia tetap selamat.
Keberuntungan-keberuntungan luar biasa inilah yang lazimnya kita beri judul dengan faktor nasib. Atau dalam istilah yang lebih populer dinamakan karena faktor kebetulan. Namun jika dilihat dari perspektif religius, sebenarnya tidak ada yang dinamakan faktor kebetulan. Di belakang setiap kejadian luar biasa yang membuat nalar kita tumpul, kata Imam Al-Ghazali pasti ada invisible hands, ada tangan-tangan yang tidak terlihat. Disanalah campur tangan Tuhan memainkan peranannya yang tidak bisa lagi dikalkulasi oleh seorang manusia yang paling jenius sekalipun. Nah, keberuntungan karena faktor nasib ini seringkali tidak bisa kita kendalikan. Semuanya di luar kendali kita sebagai manusia yang lemah. Mungkin cara terbaik yang bisa kita lakukan adalah memperbanyak amal kebaikan dan berdoa kepada Allah agar Dia berkenan melindungi kita dari fitnah dan musibah.
Kedua, keberuntungan karena faktor kelahiran. Ada orang-orang yang sangat beruntung dilahirkan oleh orang kaya raya dan bangsawan, mempunyai status sosial tinggi, sebagai orang-orang yang berkulit putih, mempunyai paras yang tampan dan cantik, serta dilahirkan dalam lingkungan kondusif yang bisa mengantarkan mereka menggapai apapun yang mereka impikan. Sebaliknya, ada begitu banyak orang-orang yang terlahir dari rahim orang-orang miskin, ditengah-tengah kondisi kumuh yang sangat menyesakan jiwa, bahkan tidak sedikit orang-orang yang telahir dengan menyandang berbagai kelemahan: entah memiliki cacat fisik, berkulit hitam, berparas buruk, atau kelahirannya pun tidak diinginkan.
Pertanyaan besarnya, apakah ketidakberuntungan kedua ini bisa kita kendalikan? Jawabannya bisa ‘Tidak’ dan sekaligus juga bisa ‘Ya’. Jelas kita tidak bisa mengendalikan diri kita yang terlahir sebagai anak orang kaya atau miskin, berkulit hitam atau putih; Kita juga tidak mampu mengendalikan agar terlahir dari rahim para bangsawan atau rakyat jelata, terlahir di Afganistan atau Teheran, di Amerika atau Indonesia. Kendati demikian, kita tetap mampu mengendalikan perjalanan hidup kita selanjutnya, mekipun kita terlahir dari rahim orang-orang tak punya, bahkan seandainya kita mempunyai cacat fisik dan kelahiran kita pun tidak diinginkan, misalnya.  
Barangkali Anda pernah mendengar kisah seorang wanita berkulit hitam yang sangat menginspirasi dalam mengendalikan ketidakberuntungan hidup. Wanita ini dilahirkan oleh seorang ibu berusia 13 tahun yang belum menikah. Ia dilahirkan dalam sebuah keluarga dimana ia selalu mendapatkan siksaan secara fisik maupun seksual. Ia tumbuh di sebuah tempat dimana kejahatan dan kemiskinan melingkupinya. Ketika berusai 13 tahun, dia diperkosa berulangkali oleh sepupunya dan mengalami keguguran. Di atas semuanya, saat menginjak remaja ia menjadi penjahat dan keluar masuk penjara. Kira-kira masa depan apa yang akan dimiliki seorang wanita malang seperti ini?
Namun akhirnya ia mengalami epifani, sebuah titik balik dalam kehidupannya dan memutuskan harus menulis ulang naskah hidupnya demi kehidupan yang gemilang di masa depan. Ia memutuskan bahwa dirinya sendirilah yang mesti merenda masa depannya dan dirinya sendirilah yang harus menjadi sutradara bagi kehidupannya, bukan orang lain, juga bukan masa lalunya yang kelam. Hari ini, wanita ini justru menjadi salah satu wanita paling berpengaruh dan paling kaya di dunia. Hari ini, ia menjadi seorang pengusaha yang sangat sukses, penulis buku inspiratif, produser TV, menjadi host acara TV spektakuler, dan menjadi seorang milyarder. Siapakah dia? Dialah Oprah Winfrey yang sangat terkenal dengan acara Oprah Winfrey Show yang disaksikan ratusan juta pemirsa diseluruh dunia.
Pesan moral bagi ketidakberuntungan yang kedua ini adalah tidak peduli dari rahim siapa pun kita dilahirkan, entah sebagai orang miskin, atau pun di tengah-tengah lingkungan kumuh, asalkan kita masih memiliki kebebasan dan kesempatan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita, maka kita termasuk dalam lingkaran orang-orang yang beruntung. Diri kita masing-masinglah yang mampu melukis masa depan kita menjadi lukisan hidup yang penuh makna.
Ketiga, keberuntungan karena faktor usaha. Keberuntungan ketiga ini mempunyai sebuah rumus bahwa keberuntungan bisa kita raih jika kita melakukan persiapan dan memiliki skill yang diperlukan. Sehingga ketika peluang muncul, kita tinggal menyambutnya dengan menggunakan keahlian yang telah kita persiapkan sebelumnya. Keberuntungan inilah yang dikatakan oleh para guru kesuksesan hidup sebagai kesuksesan: Success is when preparation meets the opportunity, sukses adalah ketika persiapan bertemu dengan kesempatan.
Artinya, kalau kita ingin menggapai kesuksesan atau keberuntungan hidup dalam dunia usaha secara konkret, maka kuncinya kita harus mempersiapkan diri kita dengan skill atau keahlian spesifik yang ingin kita kembangkan. Sehingga ketika peluang muncul, maka kita tinggal mengambil peluang tersebut dengan skill yang telah kita miliki. Disanalah kesuksesan akan menyambangi hidup kita. Disanalah keberuntungan benar-benar akan bersahabat dengan kita.
Karena itu, mari kita mempersiapkan pengetahuan dan keahlian apa yang ingin kita miliki dan sesuai dengan minat kita masing-masing. Dengan harapan, ketika peluang muncul, kita telah mempunyai keahlian yang dibutuhkan, sehingga kita bisa memeluk kesuksesan. Sebab jika kita tidak mempersiapkan keahlian yang diperlukan, maka walaupun ribuan kali peluang muncul, kita tidak akan bisa meraih peluang itu dan tidak akan berjumpa dengan kesuksesan. Karenanya, mari kita gabungkan antara preparation, opportunity, dan action, antara persiapan, kesempatan, dan tindakan, sehingga mempermudah langkah kita menuju kesuksesan, amin.

Rabu, 05 Juni 2013

PESAN DAMAI ISRA' MI'RAJ


PESAN DAMAI ISRA' MI'RAJ
Dr. Zaprulkhan. M.S.I-Inspiring Learner

Salah satu hadiah teragung yang Allah anugerahkan kepada kekasih pilihan-Nya, Nabi Muhammad Saw dalam peristiwa fenomenal Isra' mi'raj adalah shalat lima waktu. Lazimnya kita memandang shalat sebagai sebuah ibadah yang bersifat personal-individual semata, tentang hubungan intim kita dengan Allah Swt secara langsung. Kebanyakan kita lebih cenderung memaknai shalat hanya sebagai bentuk ibadah yang bercorak spiritual belaka tanpa mempunyai implikasi sosial. Padahal jika kita lihat secara holistik, shalat bukan hanya ibadah yang bersifat pribadi tentang pengabdian kita kepada Tuhan, tapi juga memiliki implikasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Di dalam ibadah shalat bukan hanya merepresentasikan hubungan vertikal antara seorang hamba kepada Tuhan (hablum minallah), melainkan juga mencerminkan hubungan horizontal antara sesama umat manusia (hablum minannas). Di dalam ibadah shalat terkandung pula pesan-pesan kedamaian, solidaritas sosial, dan kasih sayang universal kepada umat manusia yang sangat relevan bagi kondisi kebangsaan kita hari ini. Sebab akhir-akhir ini, bangsa kita tercabik dengan puspa ragam kekerasan demi kekerasan yang mengoyak tali persaudaraan di antara kita. Karena itu, mari kita bingkai makna ibadah shalat dalam konteks Isra' Mi'raj dengan menurunkannya secara fungsional bagi problematika yang tengah menggelayuti kehidupan berbangsa kita.
Pertama, secara simbolik, shalat mencakup aktivitas yang dimulai dengan takbiratul al-ihram, yakni mengucapkan kalimat Allahu Akbar yang merupakan pengharaman atas segala tindakan yang yang berdimensi horizontal (hablum minannas). Asumsinya, semua tindakan yang berdimensi horizontal diharamkan agar kita dapat memusatkan perhatian kita kepada Allah semata saat beraudiensi denganNya. Dengan pemusatan diri kepada Allah semata, diharapkan setiap kita bisa mencapai maqam ihsan, bahwa kita menyembah Allah seolah-olah melihatNya dan seandainya pun kita tidak mampu melihatNya, kita harus tetap yakin bahwa Dia melihat kita.
Itulah shalat yang khusyuk yakni shalat yang mampu menghadirkan kesadaran adanya komunikasi yang sangat intensif antara kita dengan Allah; Sebuah kesadaran prinsipil bahwa hanya Allah tempat kita bernaung, tempat kita memohon, tempat kita melabuhkan segala prolematikan kehidupan, sekaligus muara yang mengabulkan segala damba-damba kita. Itulah alasannya setiap gerakan dalam shalat selalu diiringi dengan kalimat Allahu Akbar. Pengulangan kalimat tersebut bermakna sebagai penegasan bahwa Dia Maha Besar tanpa bisa dibandingkan. Dia lebih besar dari penyerupaan apa pun yang dapat kita pakai untuk menyempurnakan pernyataan itu, lebih besar dari apapun dan segala sesuatu yang dapat kita bayangkan, lebih besar dari spekulasi kaum teolog atau penegasan kaum dogmatis atau formulasi para filosof, bahkan lebih besar dari yang bisa digambarkan oleh perbendaharaan kata manusia.
Dengan kesadaran sakral ini, kita mengerti bahwa jika Allah lebih besar, lebih pengasih, lebih penyayang, lebih berkuasa, lebih pemurah, lebih adil, lebih dekat dengan kita, lebih mencintai, lebih bijaksana, dan lebih mengetahui tanpa batas tentang segala fenomena kehidupan, maka bukankah hanya Allah semata tempat kita bersandar? Dalam pengertian inilah, penghayatan ibadah shalat kita benar-benar memasuki dimensi vetikal yang sangat intim, dekat, dan intensif dengan Tuhan kita.
Namun ibadah shalat kita tidak boleh hanya berhenti sampai tahapan vertikal saja, kita harus memasuki tahapan kedua yaitu tahapan horizontal. Tahapan horizontal ini diisyaratkan pada akhir ibadah shalat dengan mengucapkan salam, assalamu 'alaikum sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Ucapan salam yang kita ucapkan diakhir ibadah shalat itu mengandung makna sebagai doa untuk keselamatan terhadap orang-orang di sekitar kita. Bahkan dalam perspektif kaum sufi, ucapan salam penutup shalat itu bukan hanya verbalisme belaka, melainkan dalam lubuk hati kita benar-benar mengharapkan kesejahteraan bagi umat manusia, para malaikat-malaikat-Nya, bahkan seluruh binatang yang melata di jagad raya.
Karena itu, dalam konteks kemanusiaan, melalui ucapan salam itu setiap kaum Muslim dituntut untuk melakukan solidaritas sosial kepada orang-orang di depan dan di belakang kita, di kanan dan di kiri kita, serta kita mengharapkan kebahagiaan orang lain dan tidak rela bila hanya menikmati kebahagiaan sendirian saja. Dengan kata lain, salam penutup dalam ibadah shalat adalah lambang solidaritas sosial, lambang kesetiakawanan sosial, dan lambang kesetikawanan kemanusiaan. Dengan demikian, sebagaimana makna salam secara harfiah yakni keselamatan dan kedamaian, melalui ikrar salam itu, kita berupaya untuk menebarkan aroma kedamaian, keselamatan, kasih sayang, dan kesejahteraan bagi sesama umat manusia.
Maka tidak berlebihan jika para ulama mengingatkan bahwa ucapan  assalamu 'alaikum pada akhir shalat adalah konsekuensi dari kalimat Allahu Akbar yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, seperti halnya dualitas antara iman dan amal saleh.
Pada titik inilah, menjadi seorang Muslim adalah menjadi seorang yang senantiasa menebarkan kedamaian, kesejahteraan, kasih sayang, dan keselamatan baik bagi sesama kaum Muslim maupun bagi sesama umat manusia. Itulah relevansi pesan moral Isra' Mi'raj yang bisa kita petik bersama saat ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan jika kita mampu menghembuskan spirit kedamaian, solidaritas sosial, toleransi, dan kasih sayang terhadap sesama saudara-saudara kita yang berada di bawah payung besar yang bernama Indonesia, maka secara metaforis, hakikatnya kita telah melakukan Isra' Mi'raj yakni pengalaman pencerahan spiritual sekaligus pencerahan sosial, semoga. wallahu 'alam bish showab.